Mengatasi Stress Eating untuk Diet Sehat Bahagia

sering makan berlebih saat emosi? Itu tanda emotional eating

Mengatasi Stress Eating: Kunci Sukses Diet Tanpa Menyiksa Diri

Mengatasi stress eating bukan sekadar soal menahan diri untuk tidak ngemil, tetapi tentang memahami hubungan rumit antara emosi, hormon stres, dan pola makan sehari-hari. Di tengah tekanan pekerjaan, hubungan, dan tuntutan sosial, banyak orang yang akhirnya lari pada makanan sebagai pelarian, terutama makanan manis dan berlemak. Di sinilah mengatasi stress eating menjadi kunci: bukan dengan menghukum diri lewat diet super ketat, melainkan menemukan cara yang lebih sehat dan manusiawi untuk menenangkan diri, agar diet tetap berjalan, berat badan terkendali, dan kesehatan mental ikut terjaga.


Memahami Stress Eating dan Emotional Eating

Stress eating atau emotional eating adalah kecenderungan makan berlebihan ketika sedang stres, cemas, sedih, kesepian, atau bosan, meski sebenarnya tubuh tidak lapar secara fisik. Makanan dijadikan “pelarian” sesaat untuk menenangkan emosi, bukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Biasanya, makanan yang dipilih tinggi gula, lemak, atau garam: cokelat, es krim, gorengan, fast food, dan sejenisnya.

Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa memicu kenaikan berat badan, resistensi insulin, hingga meningkatkan risiko obesitas dan penyakit metabolik. Lebih jauh lagi, muncul rasa bersalah dan malu setelah makan, yang justru menambah stres dan memicu lagi siklus emotional eating. Karena itu, langkah pertama bukan menghakimi diri, melainkan menyadari bahwa ini adalah mekanisme koping yang bisa dipelajari ulang dan diarahkan ke bentuk yang lebih sehat.


Lapar Emosional vs Lapar Fisik: Belajar Membedakan

Salah satu kunci paling praktis dalam mengatasi stress eating adalah kemampuan membedakan lapar fisik dan lapar emosional. Keduanya sama-sama terasa seperti “ingin makan”, tetapi berasal dari sumber yang berbeda dan butuh respons berbeda.

Tabel Perbandingan Lapar Fisik vs Lapar Emosional

Aspek Lapar Fisik (Sehat) Lapar Emosional / Stress Eating
Pola muncul Bertahap, pelan-pelan Tiba-tiba, mendadak
Lokasi sensasi Terasa di perut: kosong, keroncongan Terasa di mulut/kepala: “ingin mengunyah” atau craving tertentu
Jenis makanan Fleksibel, apa saja yang mengenyangkan dan bergizi Sangat spesifik: cokelat, es krim, gorengan, snack favorit
Bisa ditunda? Bisa ditunggu, masih bisa dialihkan Terasa mendesak, “harus makan sekarang”
Kondisi emosi Cenderung netral, hanya butuh energi Muncul saat stres, bosan, sedih, marah, cemas
Cara berhenti Mudah berhenti saat kenyang Sulit berhenti, cenderung makan berlebihan
Perasaan setelah makan Puas, energik, jarang menyesal Rasa bersalah, malu, menyesal, tapi emosi dasar belum benar-benar reda
Cara memakainya dalam kehidupan sehari-hari:

Sebelum menyentuh makanan, berhenti sejenak dan tanyakan tiga hal sederhana pada diri sendiri:

  1. Apa yang sebenarnya saya rasakan sekarang: lapar di perut atau penuh di kepala?

  2. Apakah saya rela menunggu 15 menit sebelum makan?

  3. Kalau yang tersedia hanya makanan sederhana (misalnya nasi dan sayur), masih mau makan atau hanya mau makanan tertentu?

Jika jawabannya: muncul tiba-tiba, sulit ditunda, dan hanya mau makanan tertentu, besar kemungkinan itu lapar emosional. Di titik ini, alih-alih langsung makan, inilah momen tepat untuk memakai mekanisme coping non-makanan.


Kortisol dan Gula: Kenapa Saat Stres Justru Ingin yang Manis-Manis?

sering makan berlebih saat emosi? Itu tanda emotional eating
sering makan berlebih saat emosi? Itu tanda emotional eating

Banyak orang merasa “kalau stres butuh gula”, seolah itu adalah hal yang wajar. Secara biologis, memang ada penjelasan ilmiahnya.

Cara Kerja Kortisol Saat Stres

Saat tubuh mengalami stres (baik fisik maupun psikologis), otak mengaktifkan sistem yang disebut hypothalamic pituitary adrenal (HPA) axis. Respons ini memicu kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon stres utama bernama kortisol. Kortisol membantu tubuh bersiap menghadapi ancaman: meningkatkan gula darah agar otot dan otak punya energi cepat, menajamkan fokus, dan memicu rasa waspada.

Dalam kondisi akut (stres singkat), sebagian orang justru kehilangan nafsu makan. Namun ketika stres menjadi kronis, kortisol yang terus menerus tinggi bisa menimbulkan efek sebaliknya:

  • Meningkatkan nafsu makan

  • Meningkatkan kecenderungan memilih makanan tinggi gula dan lemak

  • Menguatkan sensitivitas otak terhadap rasa “reward” dari makanan manis

Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis dan kadar kortisol yang lebih tinggi berkaitan dengan peningkatan berat badan dari waktu ke waktu, terutama karena dorongan makan makanan tinggi kalori dan pengaruhnya terhadap hormon lain seperti insulin dan ghrelin (hormon pemicu lapar).

Kenapa Craving Gula dan Lemak?

Saat stres, otak, terutama bagian yang mengatur mood dan reward, membutuhkan lebih banyak glukosa sebagai bahan bakar. Tubuh “belajar” bahwa makanan manis dan berlemak memberikan peningkatan energi cepat dan sensasi nyaman sesaat. Selain itu:

  • Gula memicu pelepasan dopamin dan serotonin, yang memberi rasa senang dan tenang sementara.

  • Lemak dan kombinasi gula lemak tinggi (misalnya cake, donat, gorengan) sangat “rewarding” bagi sistem otak, sehingga cepat membentuk kebiasaan.

  • Setelah lonjakan gula darah, biasanya terjadi penurunan tajam (sugar crash) yang membuat lemas, mudah marah, dan… kembali ingin makan manis. Inilah pola lingkaran setan stress–gula cravings.

Jika ini berlangsung terus-menerus, risiko jangka panjangnya termasuk resistensi insulin (cikal bakal diabetes), penumpukan lemak tubuh, terutama di area perut, dan peningkatan risiko penyakit kardiometabolik.

Implikasi untuk diet:
Mengatasi stress eating bukan sekadar niat kuat, tapi juga soal menstabilkan pola hidup yang menjaga kortisol agar tidak terus-menerus tinggi: tidur cukup, aktivitas fisik, pengelolaan stres psikologis, dan pola makan seimbang.


Belajar dari Influencer: Pendekatan “Tidak Memaksakan Diri” ala Alaias Bertrand

Di tengah budaya diet ketat dan “no pain, no gain”, ada pendekatan lain yang lebih manusiawi dan justru terbukti lebih berkelanjutan. Salah satu contoh yang banyak dibicarakan adalah perjalanan Alaias Bertrand, seorang perempuan yang berhasil menurunkan berat badan puluhan kilogram tanpa pendekatan diet ekstrem.

Inti Filosofi Alaias Bertrand

Beberapa poin penting dari pendekatannya yang relevan untuk mengatasi stress eating:

  1. Tidak memaksakan diri secara brutal
    Alaias menolak pola diet yang membuat hidup terasa seperti hukuman. Alih-alih mengatur makan dengan rasa takut dan malu, ia memilih fokus pada rasa ingin sayang pada tubuh. Artinya, jika diet membuat stres berat, itu tanda strategi perlu diubah, bukan diri Anda yang “lemah”.

  2. Mencari kebiasaan sehat yang membahagiakan, bukan menyiksa
    Ia menekankan pentingnya menemukan bentuk aktivitas fisik dan pola makan yang bisa dinikmati. Misalnya:

    • Alih-alih memaksa lari 10 km padahal benci lari, ia memilih jenis olahraga yang terasa menyenangkan.

    • Alih-alih melarang total makanan favorit, ia belajar menikmati dalam porsi wajar, sambil fokus pada kualitas makanan sehari-hari yang dominan sehat.

  3. Berpindah dari pola pikir diet ke pola pikir “hubungan sehat dengan makanan”
    Alaias mempraktikkan prinsip yang sejalan dengan intuitive eating:

    • Mendengarkan sinyal lapar dan kenyang

    • Makan tanpa rasa bersalah

    • Mengizinkan semua makanan dalam konteks yang sadar dan seimbang

  4. Mengakui emosi tanpa lari ke makanan
    Ia mendorong pengikutnya untuk mulai bertanya: “Apa yang sebenarnya saya rasakan?” sebelum memutuskan makan. Dengan kata lain, emosi dihadapi, bukan ditenggelamkan oleh makanan.

Pendekatan ini tidak hanya mengurangi stress eating, tetapi juga mengurangi tekanan mental karena kegagalan diet kecil tidak lagi dianggap bencana. Fokusnya bukan lagi pada kesempurnaan, melainkan konsistensi dan kebaikan pada diri sendiri.


Mekanisme Coping Sehat: Alternatif Selain Makan Saat Stres

Begitu kita menyadari bahwa yang muncul adalah lapar emosional, pertanyaan selanjutnya adalah: “Kalau tidak makan, saya harus melakukan apa?” Inilah area di mana mekanisme coping berperan. Prinsip utamanya: mengganti makan dengan aktivitas lain yang mampu meredakan emosi atau menyalurkan energi stres.

1. Jalan Kaki Singkat atau Olahraga Pagi

Aktivitas fisik ringan seperti jalan kaki 5–15 menit, naik-turun tangga, atau stretching sederhana bisa:

  • Menurunkan ketegangan tubuh

  • Menstimulasi pelepasan endorfin (hormon “bahagia”)

  • Mengalihkan fokus dari craving, terutama jika dilakukan segera ketika dorongan makan datang

Tips praktis:

  • Simpan sepatu yang nyaman di bawah meja kerja.

  • Jika craving datang, janji pada diri sendiri: “Saya jalan dulu 10 menit, kalau setelah itu masih ingin makan, baru dipikirkan lagi.”

2. Latihan Pernapasan dan Meditasi Singkat

Meditasi tidak harus lama dan rumit. Bahkan 3–5 menit fokus pada napas bisa menurunkan intensitas emosi. Contoh latihan:

  • Tarik napas dalam lewat hidung selama 4 hitungan.

  • Tahan napas selama 4 hitungan.

  • Hembuskan pelan lewat mulut 6–8 hitungan.

  • Ulangi 5–10 kali.

Latihan ini membantu:

  • Menurunkan respons fight-or-flight yang terkait stres

  • Membuat kita cukup tenang untuk mengambil keputusan makan yang lebih rasional

3. Menelepon atau Chat dengan Teman

Stress eating sering muncul saat merasa sendirian dengan pikiran negatif. Menghubungi teman, pasangan, atau anggota keluarga yang suportif bisa:

  • Memberi ventilasi emosi (curhat)

  • Membuat kita merasa didengar dan dimengerti

  • Memberi perspektif baru sehingga masalah terasa tidak seberat tadi

Bahkan chat singkat atau voice note pun bisa cukup untuk memecah dorongan makan.

4. Menulis Jurnal Emosi dan Makanan

Jurnal sederhana membantu Anda melihat pola:

  • Kapan craving paling sering muncul (malam, setelah rapat, setelah bertengkar)

  • Emosi apa yang dirasakan (marah, kecewa, bosan, kesepian)

  • Di situasi mana Anda paling rentan makan berlebih

Dari sana, Anda bisa merancang strategi khusus, misalnya:

  • Jika tahu setelah lembur selalu craving, jadwalkan jalan sore atau telepon teman sebelum pulang.

  • Jika konflik di rumah memicu makan, siapkan “ritual menenangkan” yang non-makanan: mandi air hangat, membaca, journaling.

5. Mengelola Lingkungan Makanan

Mengatasi stress eating juga soal “mengatur panggung” di sekitar Anda:

  • Jangan stok snack tinggi gula dan lemak di rumah atau meja kerja jika Anda tahu itu pemicu.

  • Siapkan alternatif lebih sehat: buah, kacang panggang tanpa garam berlebihan, yoghurt tawar dengan sedikit madu, air minum yang cukup.

  • Terapkan aturan sederhana: jika ingin makan snack emosional, ambil di piring kecil dan makan di meja, bukan sambil scroll ponsel.


Strategi Harian: Blueprint Praktis Anti-Stress Eating

Agar teori berubah menjadi kebiasaan, Anda perlu ritme harian yang mendukung. Berikut contoh rancangan sederhana:

Waktu Strategi Anti-Stress Eating
Pagi Sarapan seimbang (protein, serat, lemak sehat) + 3 menit napas sadar
Menjelang siang Minum air putih, jalan 5 menit sebelum makan siang
Sore (jam “ngemil”) Cek emosi, pilih: jalan sebentar, peregangan, atau minum teh hangat
Malam Makan malam lebih awal, hindari layar berlebihan, 5–10 menit journaling
\Anda tidak harus menjalankan semuanya sekaligus. Pilih satu atau dua kebiasaan yang terasa paling mudah, jalankan selama 1–2 minggu, lalu tambahkan yang lain bertahap.

Menggabungkan Sisi Psikologi dan Nutrisi: Diet yang Realistis

Mengatasi stress eating bukan berarti melarang semua makanan “enak”. Justru, pelarangan total sering berakhir dengan ledakan binge. Pendekatan yang lebih efektif:

  • 80–90% makanan sehari-hari bernutrisi baik, 10–20% ruang fleksibel untuk makanan kesukaan.

  • Prioritaskan protein, serat, dan lemak sehat untuk membantu kenyang lebih lama dan menstabilkan gula darah.

  • Makan secara teratur (3 kali makan utama + 1–2 snack sehat bila perlu) untuk mencegah “lapar setengah mati” yang memicu makan berlebih.

  • Saat menikmati makanan manis atau gurih, lakukan secara sadar: perlahan, nikmati rasa, dan berhenti saat puas, bukan sampai terlalu kenyang.

Dengan kata lain, alih-alih bersikap “semua atau tidak sama sekali”, Anda membangun pola makan yang panjang umur: menyenangkan, fleksibel, namun tetap berpihak pada kesehatan.


FAQ (Dengan Sudut Pandang Psikologi Diet)

1. Apakah stress eating selalu berarti saya punya masalah psikologis serius?

Tidak selalu. Stress eating sangat umum dan sering kali merupakan respons belajar terhadap stres. Namun, jika Anda merasa kehilangan kontrol, makan sampai sakit, atau pola ini sangat mengganggu kesehatan dan kehidupan sosial, berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater bisa sangat membantu.

2. Lebih baik saya melarang total makanan manis untuk menghentikan stress eating?

Larangan total biasanya hanya efektif jangka pendek, tetapi berisiko memicu “balas dendam makan” ketika pertahanan mental turun. Lebih sehat untuk mengizinkan makanan manis dalam porsi kecil dan terencana, sambil membangun mekanisme coping lain dan pola makan sehari-hari yang dominan bergizi.

3. Berapa lama sampai stress eating saya berkurang kalau mulai latihan coping?

Ini sangat individual. Ada yang mulai merasakan perubahan dalam beberapa minggu, terutama jika konsisten mengenali lapar emosional dan memakai strategi alternatif seperti jalan kaki, napas dalam, atau journaling. Yang penting adalah konsistensi, bukan kecepatan.


FAQ Tambahan: Praktik Sehari-hari

4. Apa yang harus saya lakukan kalau terlanjur “jatuh” dan makan berlebihan?

Yang terpenting: hentikan siklus “makan berlebih → merasa bersalah → stres → makan lagi”. Alih-alih menghukum diri dengan diet keras keesokan hari, cobalah:

  • Terima kejadian tersebut tanpa menghakimi (“Oke, hari ini berat, besok saya coba lagi”).

  • Kembali ke pola makan seimbang di makan berikutnya, bukan malah tidak makan sama sekali.

  • Evaluasi: apa pemicu utamanya? Apa mekanisme coping alternatif yang bisa dicoba lain kali?

5. Bolehkah saya tetap diet kalori defisit kalau punya masalah stress eating?

Boleh, asalkan:

  • Defisit kalorinya moderat, tidak ekstrem.

  • Anda tetap mengutamakan kualitas tidur dan pengelolaan stres.

  • Anda tidak mengandalkan “willpower murni”, melainkan mengubah lingkungan dan membangun coping sehat.
    Jika defisit terasa membuat Anda semakin mudah marah, lemas, dan makin sering stress eating, mungkin defisitnya terlalu agresif dan perlu ditinjau ulang.


Penutup: Kunci Sukses Diet adalah Damai dengan Diri Sendiri

Mengatasi stress eating bukan tentang menjadi sempurna atau tidak pernah lagi menyentuh cokelat saat sedih. Ini tentang belajar membaca sinyal tubuh, memahami bahasa emosi, dan memilih cara menenangkan diri yang lebih ramah bagi tubuh dan pikiran. Pendekatan “tidak memaksakan diri” ala Alaias Bertrand mengingatkan kita bahwa diet yang berhasil bukan diet yang paling keras, melainkan yang paling dapat dijalani dengan konsisten dan bahagia.

Saat Anda mulai membedakan lapar fisik dan emosional, memahami peran kortisol dan gula, mengasah mekanisme coping yang lebih sehat, serta memperlakukan diri dengan lebih lembut, stress eating perlahan kehilangan daya cengkeramnya. Diet tidak lagi terasa sebagai hukuman, melainkan perjalanan menjadi versi diri yang lebih kuat, sehat, dan damai dari dalam ke luar.

Dan di situlah letak kunci sukses diet tanpa menyiksa diri.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *